Selasa, 21 Desember 2010

kisah seorang duda



Ku Menuai Hari Ini dan Ku Memetik Esok Hari

Namaku adalah Harianto. Aku adalah seorang duda beranak dua. Kedua puteriku bernama Sintia dan Destia, mereka kini sudah besar dan tinggal bersama mantan isteriku. Aku terkadang merasa rindu kepada puteri-puteriku itu. Tak hanya sekali atau dua kali aku teringat masa-masa bahagiaku di mana puteri-puteriku itu masih kecil.

“Pa, ayo kita ke kebun jagung lagi! Aku mau main ayunan,” suara Destia, puteri bungsuku, yang waktu itu masih berumur 5 tahun selalu berbisik di telingaku. Ya, puteriku yang satu itu teramat sangat bahagia jika ku ajak ke sebuah kebun jagung di belakang perumahanku. Entah punya siapa, tapi aku sering mengajaknya ke sana. Dan putri sulungku, aku selalu teringat ketika ia selalu berkata, “Pa, aku mau berangkat sekolah tapi harus dianter sama Papa ya?” Mungkin saat itu aku merasa sangat direpotkan, apalagi jam sekolah Sintia agak lebih siang daripada jam kantorku yang membuat aku harus bertengkar dengan si Bos dengan alasan mengantar Sintia sekolah. Tapi, betapa saat ini kenangan yang merepotkan itu sungguh aku rindukan.
Saat aku berdoa dalam shalatku, aku bertanya kepada Tuhan, “inikah pelajaran yang harus aku terima, ya Allah?”

Sungguh, jika aku telaah masa-masaku dulu, saat aku masih berada dalam keluargaku, aku bukanlah sosok ayah yang baik. Harus ku akui dosaku, saat aku hampir mencekik mantan isteriku di depan anak-anakku yang masih kecil. Dan betapa aku masih teringat raut wajah ketakutan si bungsuku itu. Saat itu jalanku masih mudah, karena kepolosan seorang anak kecil, anak-anakku dapat memaafkanku. 

Sayangnya saat ini sudah tidak begitu. Mereka telah tumbuh besar. Pikiran mereka pun sudah semakin dewasa, mereka telah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Suatu ketika aku pernah ribut besar dengan kedua anakku dan berkata, “Papa tidak butuh kalian. Lebih baik kalian pergi dari rumah.” Saat itu anak sulungku telah mengingatkan, “Mana mungkin Papa tidak butuh kami? Ingat, Pa. Papa tidak akan selamanya muda seperti saat ini. Pada suatu saat Papa pasti akan tua, dan Papa pasti membutuhkan kami.” Dan betapa sombongnya aku kemudian menjawab, “Hallaaaahh. Memang kalian bisa apa di saat Papa tua? Kalian ini cuman bisa merepotkan Papa aja! Sama kayak Mama kalian! Sudahlah, cepat bereskan baju dan pergi sana! Papa bisa melakukannya sendiri kok!” Ya Allah, sungguh aku telah melakukan kesalahan fatal. Sintia benar, aku tidak akan bisa tanpa mereka. Dan saat ini, di hari tuaku, di umurku yang sudah kepala lima ini aku hanya sendirian. Di rumah kecil, kumuh, dan tidak terurus.

Sebenarnya, saat perceraianku dengan isteriku, aku berhasil menang mempertahankan rumah dan mantan isteriku yang harus pergi. Sedangkan anak-anak, tentu mereka memilih ibunya. Saat ditanya hakim “Mengapa?”, Sintia menjawab, “Kami cukup trauma dengan sikap-sikap kasar Papa kepada kami. Dan kami merasa aman bersama Mama.” Kata itu seolah menusukkan seribu jarum ke jantungku. Ya, Sintia benar. Aku memang selalu kasar kepada mereka juga kepada mantan isteriku. Tidak hanya sekali atau dua kali aku pernah mencambuk mereka dengan ikat pinggang karena hal yang sepele. Namun lebih dari hal itu, yang paling membuat hati mereka terluka adalah setiap perkataan yang sering aku katakan kepada mereka. Mantan isteriku pernah berkata, “Ayah adalah seorang figure utama dalam sebuah keluarga. Ia seharusnya menjadi panutan dalam keluarga. Tapi tidak dengan kamu. Dari perkataanmu saja sudah tidak patut untuk dijadikan panutan. Sedangkan perkataan adalah cerminan dari diri sendiri.” Mantan isteriku pun benar, aku bukan lah panutan yang baik. Oleh sebab itu, aku ikhlaskan jika anak-anakku tidak ingin tinggal bersamaku.
Sudah kehilangan anak, isteri, dan kini perlahan-lahan materi yang aku punya menghilang. Rumah yang aku menangkan saat pengadilan itu, disita oleh bank karena hutangku yang sudah jatuh tempo. Aku pernah bertanya lagi pada Tuhan, “Ya Allah, aku sudah ikhlas harus ditinggalkan isteri dan anak-anakku, tapi kenapa harta yang aku punya juga perlahan harus meninggalkanku?”

Kemudian waktu seolah berputar kembali. Waktu itu aku masih muda, umurku baru 35 tahun, dan aku sudah memiliki segalanya. Harta, kedudukan, dan isteri yang cantik pun sudah aku punya. Dengan segala kelebihan itu, membuat aku merasa di atas angin tanpa memikirkan kekuranganku bahwa aku adalah laki-laki mandul. Aku berselingkuh dengan seorang wanita tanpa sepengetahuan isteriku dan diam-diam menikah siri dengan wanita tersebut. Tentu saja, wanita selingkuhanku itu tidak tahu tentang kemandulanku. Sayangnya, kepura-puraan itu tidak berlangsung lama. Isteriku yang pertama tahu akan perselingkuhanku dan ia pun sangat membenciku.

Berselang tahun dari hal itu, keadaan berbalik padaku. Isteriku diam-diam menikah dengan seorang pemuda dan mengandung anak pertama mereka, ya anak itu adalah Sintia. Saat itu aku benar-benar tidak tahu menahu tentang pernikahan itu karena ku pikir bayi yang ia kandung adalah bayiku. “Mungkin ini mukjizat,” pikirku. Aku baru tahu mengenai pernikahan diam-diam isteriku saat ia sedang mengandung anak keduanya, Destia, dua tahun kemudian. Aku marah sekali pada saat itu. Aku hampir membunuh isteriku dan bayinya dengan memaksanya untuk meminum obat nyamuk. Tapi isteriku dengan tegas menolak dan menamparku sebelum akhirnya ia membawa Sintia pergi dari rumah. Aku geram dan makin geram.

Anak kedua isteriku lahir. Rasa benciku pada isteri dan si bapak dari anak-anak itu tidak kunjung padam. Aku dengan kekuasaanku menyuruh beberapa bodyguard untuk mencari si bapak dari anak-anak itu. Setelah ku dapati rumahnya, ku datangi dia. Aku ingin membalas dendamku kepadanya. Aku ingin menyiksanya. Dan ku sita beberapa aset miliknya termasuk rumah yang satu-satunya ia miliki. Selain itu, aku pun memaksanya untuk menceraikan isteriku dan menandatangani perjanjian di mana ia tidak boleh menemui isteriku serta anak-anaknya. Aku tidak peduli dengan nasibnya kemudian. Yang aku pikirkan adalah dendamku yang sudah terbayar.

Tahun berselang tahun berlalu. Dan kembali ke keadaanku yang sendiri ini. Kilasan cerita itu sudah cukup jelas menjawab pertanyaanku. Ini adalah balasan dari Tuhan kepadaku. Rumahku di sita, tapi aku pun pernah merampas harta milik ayah dari anak-anak yang kini menjadi anakku. Aku tahu isteriku salah, tapi aku juga pernah melakukan hal yang sama kepadanya.

Pada suatu ketika, aku pernah datang berkunjung ke rumah mantan isteriku yang sudah menikah lagi. Keadaanya jauh lebih baik dari keadaanku sekarang. Amarah yang masih tersimpan di hati mantan isteriku masih tersirat dari matanya degan jelas. Ia berkata, “Buat apa kamu datang ke sini? Dasar kamu, Bajingan! Belum puas kamu menyita rumah Setio (suami siri) dan membuatnya mati?” Hal itu menyentakku. Setio meninggal? “Kenapa kamu kaget hah?! Kamu yang membuat Setio sakit-sakitan selama lima belas tahun. Kamu yang memaksa Setio untuk tidak menemui Sintia dan Destia kan? Puas kamu?” lanjutnya. Aku masih terdiam. Aku tidak menyangka tindakanku akan menjadi seperti ini.

Ya, ini adalah kisahku yang nyata. Benar-benar terjadi. Kisahku di masa tua ini begitu lengkap saat aku divonis mengidap penyakit diabetes mellitus dua tahun yang lalu. Aku yang saat ini begitu menyedihkan. Kesombonganku di masa mudalah yang membuat aku menjadi seperti ini. Anak-anakku tidak pernah sekali pun mengunjungiku. Ya, ini karena ucapan sombongku kepada mereka waktu itu. Tapi aku bahagia karena mereka telah mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan keluarga baru mereka.

Seandainya aku dapat bertemu dengan Sintia dan Destia aku ingin minta maaf kepada mereka. Aku tahu mereka telah mengetahui kisah Setio, dan mungkin mereka saat ini sudah amat sangat membenciku dan enggan melihatku. Tapi aku hanya ingin meminta maaf kepada mereka, dan aku akan bersujud di hadapan mereka asal mereka bisa memaafkanku. Aku tidak menginginkan mereka kembali kepadaku, tapi di tengah waktu senjaku yang berpenyakitan ini, hanya nyawaku yang aku punya, sewaktu-waktu Yang Maha Memiliki Hidup akan mengambilnya. Dan aku ingin apabila saat itu tiba, aku telah berada dalam keadaan yang termaafkan.

Dari kisahku ini aku ingin berpesan kepada laki-laki bahwa kalian akan menjadi sorang kepala rumah tangga, seorang ayah, jadilah panutan yang baik, perlakukanlah isteri dan juga anak-anakmu dengan baik. Bagi perempuan, jika suatu saat suamimu tidak dapat memberikanmu keturunan, bertawakallah kepadaNya, mintalah pertolongan kepadaNya karena hanya Dia-lah yang Maha Tahu akan kebenaran. Dan bagi semuanya, ketika harta dan tahta telah kamu raih janganlah sekali-kali kamu sombong. Ingat, harta, tahta, bahkan isteri serta anakmu adalah rezeki yang Dia titipkan kepadamu. Dan saat mereka mendustakanmu, janganlah kamu dendam, karena dendam adalah hal yang paling dibenci olehNya dan sesungguhnya dendam adalah bisikan syaitan yang tiada akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar